Hi Friend!

Jumat, 06 Juni 2014


Cerpen Realita

Tugas Sastra Indonesia

 
Kekuranganku Membuatku Tak Terurus
Oleh : Yusmaniar Afifah Nur
Sekolah : MAN Selong

            Desa Mekarsari, sebuah tempat yang sejuk dan tentram. Desa itu termasuk dalam kecamatan Darmaraja, Sumedang. Tempat itu benar-benar penuh dengan pemandangan alam yang indah dan permai. Udara Desa Mekarsari terasa sejuk dengan banyaknya pepohonan.

Hanif nama seorang kakek tua yang usianya kurang lebih 70 tahun-an tinggal di Desa Mekarsari itu. Dia hidup sebatang kara, setelah dua orang anaknya pergi merantau dan satu anaknya lagi pindah rumah dan tidak tinggal bersamanya lagi. Kakek hanif memiliki penyakit sesak nafas. Walaupun dia hidup sendiri tanpa ada anak-anaknya yang merawatnya, dia selalu sabar dalam menjalani hidupnya.

            Jika sesak nafas kakek Hanif kambuh, dia bertahan sendirian. Tetangga-tetangga dekat rumahnya merasa kasihan melihat kondisi kakek Hanif. Mereka sangat khawatir jika tiba-tiba penyakit sesak nafas kakek Hanif kambuh tengah malam karena tidak ada satupun anaknya yang merawatnya.

            Biasanya setiap menjelang maghrib, kakek Hanif menyalakan lampu teras rumahnya. Tapi kali ini lampu teras rumahnya tidak menyala. Entah apa yang terjadi dengan kakek Hanif. Tetangganya merasa khawatir dengan keadaannya. Mereka khawatir jika terjadi apa-apa dengan kakek Hanif yang mengidap penyakit sesak nafas itu. Mereka takut jika penyakit sesak nafas kakek Hanif kambuh dan tidak ada orang yang menolongnya di dalam rumahnya.

            Tetangganya yang bernama Maksum menunggu kakek Hanif untuk menyalakan lampunya. Tapi hingga jam 12 malam, lampu teras rumah kakek Hanif belum menyala juga. Maksum yang tinggal di samping rumahnya pun mulai khawatir dengan keadaan tersebut. Hingga Maksum bertekad untuk pergi ke rumah kakek Hanif dan memastikan apa yang terjadi dengan kakek Hanif di dalam rumahnya.
           
            “Kakeeeekkk,” teriak Maksum sambil mengetuk pintu rumah kakeh Hanif.
            Tidak ada jawaban kakek Hanif dari dalam rumahnya.
            “Kakeekkk, kakek Hanif,” teriak Maksum sekali lagi memanggil kakek Hanif.
            Tidak ada jawaban lagi dari kakek Hanif.
            “Kekk, kakeeek. Apakah kakek masih bangun?” tanya Maksum dari depan pintu.
            Tapi kakek Hanif tidak menyahut juga.

            Maksum pun semakin menjadi khawatir dengan keadaan kakek Hanif. Dia memanggil-manggil kakek Hanif dari depan pintu rumah kakek Hanif. Tapi tak ada suara kakek Hanif menyahut. Tetangga lainnya yang mendengar suara maksum teriak memanggil kakek Hanif keluar dari rumahnya.


            “Maksum, kenapa kau berteriak depan rumah kakek Hanif?” tanya salah satu warga.
            “Aku khawatir dengan keadaan kakek Hanif. Biasanya kan kalau menjelang maghrib lampu rumahnya menyala, tapi kali ini lampu rumahnya tidak menyala hingga sekarang. Aku takut jika terjadi apa-apa dengan kakek Hanif,” jawab Maksum khawatir.
            “Iya, aku perhatikan kakek Hanif tidak pernah keluar dari rumahnya,” sahut Arif, tetangga depan rumah kakek Hanif.
            “Cobalah panggil kakek Hanif lagi. Mungkin dia sudah tidur dan lupa menyalakan lampunya.”
            “Aku sudah memanggilnya, tapi tak ada jawaban dari kakek Hanif.”
            “Bagaimana ini?, apa yang harus kita lakukan,” kata salah satu tetangga kakek Hanif.
            “Cobalah panggil sekali lagi?”
            “Bagaimana kalau kita memanggil Zul, anaknya?” saran Maksum kepada para tetangganya.
            “Baiklah, biar aku saja yang pergi ke rumah Zul,” kata Hadi.
            “Iya sudah, cepetan ya. Jangan lama-lama Di.”
            “Iya, iya,” jawab Hadi.

            Warga mulai khawatir dengan keadaan kakek Hanif yang berada dalam rumahnya. Banyak warga berkumpul didepan rumah kakek Hanif. Mereka ingin tahu apa yang terjadi dengan kakek Hanif.

***

Hadi yang pergi memanggil Zul berlari, karena rumah Zul tidak terlalu jauh dari rumah kakek Hanif. Setelah sampai di rumah Zul, Hadi mengetuk pintu dan mengucapkan salam.
“Tok-tok-tok, assalamualaikum,” kata Hadi.
“Waalaikumussalam, ada apa? Kenapa kamu kelihatan tergesa-gesa Di,” kata Zul.
“Itu ayah kamu. Dari tadi magrib dia belum menyalakan lampu teras rumahnya. Biasanya kalau sudah magrib, lampu teras rumahnya sudah dinyalakan. Tetangga-tetangganya khawatir dengan keadaan ayahmu Zul, dari tadi Maksum telah memanggilnya. Tetapi tidak ada jawaban dari kakek hanif, kami semua khawatir,” kata Hadi menjelaskan.
“Benarkah ?? Kalau begitu ayok cepat kita kesana.”
“Ayok.”
Hadi dan Zul tiba di rumah kakek Hanif. Zul pun langsung memanggil ayahnya itu.
“Ayaaah, ayaaah,” panggil Zul.
Tapi tidak ada jawaban dari kakek Hanif. Beberapa kali Zul memanggil ayahnya, tetapi tidak ada jawaban. Hingga Zul pun mendobrak pintu rumah itu dan mencari ayahnya. Zul mencari ayahnya ke kamar, tapi tidak ada. Zul pun mencari ayahnya ke belakang rumah. Ternyata kakek Hani tidur dengan nyenyak disana sampai dia tidak mendengar suara orang ribut di depan rumahnya.

“Ayah, kenapa ayah tidur disini? Warga khawatir dengan keadaan ayah, mereka takut kalau terjadi apa-apa sama ayah yang tidak menyalakan lampu teras rumah dan di panggil-panggil tidak menyahut juga,” tanya Zul.
“Tadi sesak ayah kambuh Zul, gara-gara makan mie. Hingga ayah pun diam dan ketiduran disini. Ayah tidak mendengar suara apa-apa.”
“Sekarang ayah sudah tidak apa-apa?”
“Alhamdulillah, sudah tidak apa-apa. Tadi ayah sudah minum obat.”
“Baiklah, ayok ayah masuk kamar dan istirahat,” ajak Zul.
“Iya.”

Akhirnya Zul berterimakasih kepada warga yang sudah peduli dengan keadaan ayahnya. Dan setelah warga mengetahui kalau keadaan kakek Hanif tidak apa-apa. Semua warga yang ada di depan rumah kakek Hanif pulang dengan hati yang lega.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar